Ads Top

Perubahan Pola Makan Juanita, Sebelum Dikurbankan Untuk Para Dewa


Antropolog Johan Reinhard dan rekan pendakiannya dari Peru, Miguel Zarate, mungkin tidak akan melupakan peristiwa yang terjadi pada September 1995. Keduanya menemukan mumi yang kini dikenal dengan nama Momia Juanita atau Mumi Juanita bersama dengan banyak barang pemakaman, seperti tembikar, kerang, dan patung-patung kecil.

Dilansir dari Archaeology World, udara tipis dan dingin di ketinggian 6.000 meter (20.000 kaki) dekat puncak Gunung Ampato membuat mumi itu sangat utuh. Dalam wawancaranya tahun 1999, Johan Reinhard berkata bahwa para ahli menggelengkan kepala dan mengatakan kalau mumi tidak terlihat berusia 500 tahun.

Kehidupan Juanita sebelum terpilih untuk pengurbanan manusia mungkin tidak terlalu aneh. Namun, hari-hari menjelang kematiannya diketahui sangat berbeda dari gaya hidup gadis Inca pada umumnya.

Para ilmuwan menggunakan DNA dari rambut Juanita yang terpelihara dengan baik untuk membuat lini masa pada masa itu. Kemudian menyimpulkan seperti apa pola makannya sebelum capacocha, upacara memberikan kurban anak-anak kepada para dewa.

Penanda di rambutnya menunjukkan bahwa Juanita dipilih untuk dikurbankan sekitar satu tahun sebelum kematiannya. Pola makannya beralih dari kentang dan sayuran ke makanan yang lebih elit dari protein hewani. Tidak hanya itu, dia juga mengonsumsi koka dan alkohol dalam jumlah besar.

Seorang ahli forensik dan arkeologi Andrew Wilson menjelaskan kepada National Geographic enam sampai delapan minggu terakhir kehidupan anak-anak suku Inca yang dikurbankan adalah sangat mabuk. Kondisi ini karena reaksi kimia koka dan alkohol.

Maka dari itu, para arkeolog meyakini bahwa Juanita kemungkinan besar meninggal dalam keadaan yang rileks. Kendati demikian, ia tidak seberuntung itu. Seorang ahli radiologi bernama Elliot Fishman menemukan bahwa kematian Juanita disebabkan oleh pendarahan hebat akibat pukulan pentungan di kepala.


Elliot Fishman menyimpulkan lukanya adalah khas seseorang yang telah dipukul oleh tongkat baseball. Setelah pukulan itu, bagian tengkorak membengkak dengan darah, lalu mendorong otaknya ke samping. Jika trauma di kepala itu tidak terjadi, otaknya akan mengering secara simetris di bagian tengah tengkorak.

Mumi Juanita kini menjadi daya tarik di Museum Cagar Alam Andes di Arequipa, Peru. Kondisinya terpelihara baik, bagian kepala penuh rambut hitam. Selain perubahan warna kulit di tangan dan lengan hampir tidak menunjukkan pembusukan.

Para ilmuwan memperkirakan Juanita berusia antara 12 dan 15 tahun ketika meninggal dunia. Capacocha diterjemakan sebagai kewajiban kerajaan, upaya suku Inca untuk memastikan bahwa yang terbaik dan tersehat di antara mereka dikurbankan untuk menenangkan para dewa. Seringkali sebagai cara untuk menghentikan bencana alam atau memastikan kesuksesan panen.

Mumi Juanita juga dikenal dengan nama Lady of Ampato atau Inca Ice Maiden (Gadis Es Inca). Melansir laman Traveling & Living In Peru, gadis suku Inca ini dikurbankan antara tahun 1440 dan 1480. Juanita mengenakan tekstil yang menyerupai milik kaum elit Cusco. Berkenaan dengan lokasi geografis pengurbanan menunjukkan kepada para arkeolog gadis muda ini adalah bagian dari bangsawan Cusco.

Sementara itu, sebulan setelah menemukan mumi Juanita, Johan Reinhard kembali ke puncak gunung dengan tim dan menemukan dua mumi lagi, laki-laki dan perempuan. Diduga, anak laki-laki dan perempuan itu merupakan pengurbanan pendamping bersama Juanita.

Pada tahun 2020 lalu, ANDINA melaporkan bahwa Momia Juanita dan barang-barang pra-Hispanik yang ditemukan di puncak Gunung Ampato dinyatakan sebagai Warisan Budaya Nasional oleh Kementrian Kebudayaan Peru.

No comments:

Powered by Blogger.