Ads Top

Musuh Tak Kasatmata nan Mematikan: Empat Pagebluk Terburuk Dunia Kuno

Pandemi bukanlah hal yang baru di dunia, bahkan dunia kuno tidak asing dengan pandemi. Musuh tidak kasatmata yang paling mematikan ini menyebabkan kematian yang meluas. Beberapa pandemi ini bahkan mengubah sejarah Mediterania kuno.

Dari sepuluh tulah Mesir yang terkenal hingga COVID-19, pandemi selalu menjadi bagian dari peradaban manusia. Orang dan ternak, ditambah dengan sanitasi buruk dan malnutrisi, dapat dengan mudah menjadi mangsa musuh yang tak terlihat.

“Munculnya kota-kota, pertumbuhan kerajaan kuno, dan perluasan rute perdagangan memfasilitasi penyebaran infeksi. Ini menyebabkan pandemi global pertama,” ungkap Vedran Bileta dilansir dari laman The Collector.

Tidak seperti hari ini, orang dahulu tidak menyadari kuman. Mereka juga tidak memiliki obat untuk penyakit mematikan. Sebaliknya, penyakit dianggap sebagai hukuman ilahi atas dosa-dosa yang dilakukan.

Pandemi menyusutkan populasi, merusak ekonomi, menyebabkan kekacauan sosial serta melemahkan negara.

Wabah Athena (429-426 SM)

Untuk mencegah kekalahan dari Sparta di tahun 429 SM, jenderal dan negarawan Athena Perikles memerintahkan rakyatnya untuk mundur. Mereka bersembunyi di balik tembok kota yang kokoh.

Menurut sejarawan kontemporer Thukidides, ini adalah saat ketika bencana melanda lewat musuh yang tidak terlihat.

Wabah Athena mungkin tiba dengan kapal ke Piraeus setahun sebelumnya, setelah pertama kali menghancurkan Mesir dan Afrika Utara. Orang-orang berkerumun dalam jarak dekat di balik tembok kota mempercepat penyebaran wabah.

Thukidides, pria yang selalu menyukai detail, menggambarkan gejalanya.

Wabah Athena (429-426 SM)

Untuk mencegah kekalahan dari Sparta di tahun 429 SM, jenderal dan negarawan Athena Perikles memerintahkan rakyatnya untuk mundur. Mereka bersembunyi di balik tembok kota yang kokoh.

Menurut sejarawan kontemporer Thukidides, ini adalah saat ketika bencana melanda lewat musuh yang tidak terlihat.

Wabah Athena mungkin tiba dengan kapal ke Piraeus setahun sebelumnya, setelah pertama kali menghancurkan Mesir dan Afrika Utara. Orang-orang berkerumun dalam jarak dekat di balik tembok kota mempercepat penyebaran wabah.

Thukidides, pria yang selalu menyukai detail, menggambarkan gejalanya.

“Pada awalnya, Wabah Athena tidak berbahaya. Hanya demam, bersin, dan sakit tenggorokan. Namun, situasinya segera memburuk dengan orang yang terinfeksi menderita batuk hebat dan nyeri dada yang mengerikan. Kemudian kulit mereka menjadi merah dan ditutupi dengan luka. Banyak orang dalam keadaan sehat ketika terinfeksi tetapi meninggal dalam waktu sepuluh hari setelah mengalami gejala pertama. Suhu tubuh mereka sangat tinggi sehingga tidak bisa menoleransi pakaian dan berulang kali meminta air.”

Gejalanya menunjukkan demam tifoid – penyakit mematikan yang masih membunuh lebih dari seratus ribu orang di negara berkembang setiap tahun.

Penyebaran Wabah Athena yang cepat dan kematian yang meningkat menyebabkan kepanikan di antara warga Athena dan pengungsi.

Thukidides melaporkan kehancuran total tatanan sosial dan pengabaian praktik keagamaan. Ketika pandemi akhirnya mereda, jumlah kematian sangat mengejutkan. Sekitar 75.000 hingga 100.000 orang tewas, termasuk Perikles sendiri.

“Wabah Athena tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pandemi terburuk,” tambah Bileta.

Kutukan dari Timur: Wabah Antoninus (165-190 M)

Sejarawan Romawi Ammianus Marcellinus melaporkan, salah satu pandemi terburuk yang melanda Kekaisaran Romawi adalah akibat dari kutukan. Selama penjarahan Seleukia (di Irak modern), tentara Romawi melebarkan celah sempit di kuil, melepaskan penyakit mematikan yang kemudian dikenal sebagai Wabah Antoninus. Peneliti menemukan bahwa wabah itu berasal dari Tiongkok dan menyebar ke barat di sepanjang Jalur Sutra.

Wabah Antoninus melanda Kekaisaran pada tahun 165 M, selama pemerintahan bersama kaisar Lucius Verus dan Marcus Aurelius. Tentara Romawi mengalami penyakit saat mengepung Seleukia. Mereka membawanya ke Romawi sekembalinya dari perang. Penyakit ini dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah kekaisaran – dari ibu kota hingga perbatasannya.

Galenus, tabib Yunani menggambarkan gejalanya. Penyakit ini dimulai dengan demam tetapi segera berubah menjadi buruk. Tenggorokan sakit dan bengkak, diare, luka kulit yang mengerikan, ketidakmampuan menelan, rasa haus yang tak tertahankan, batuk, dan muntah. Yang terinfeksi menderita sekitar dua minggu. Mereka yang tidak meninggal mengembangkan kekebalan terhadap wabah lebih lanjut. Pengamatan Galen menunjuk pada cacar atau campak.

Salah satu pandemi terburuk di zaman kuno, wabah meningkat dan berkurang selama satu generasi, memuncak pada tahun 189. Sejarawan Cassius Dio melaporkan hingga 2.000 orang di Roma meninggal setiap hari karena penyakit sampar.

Para ahli percaya bahwa 5 juta orang meninggal karena penyakit ini, meskipun jumlahnya bisa mencapai 7-10 juta. Wabah itu mungkin membunuh Lucius Verus, sang kaisar sendiri.

Kerugian besar melemahkan kekaisaran, memukul ekonomi dengan keras dan menghancurkan pasukannya. Mencari kambing hitam, Marcus Aurelius menganiaya orang-orang Kristen karena penolakan mereka untuk berpartisipasi dalam upacara keagamaan.

Wabah Siprianus (249-266 M)

Wabah Siprianus memperoleh namanya dari Santo Siprianus, uskup Kartago yang mencatatnya secara rinci. Dia menggambarkan epidemi sebagai awal dari akhir dunia. Namun, itu juga menyajikan gambaran yang jelas tentang perkembangan penyakit dan efeknya.

Gejala pertama adalah demam, diikuti oleh lemah, tenggorokan sakit dan bengkak, gangguan pendengaran, diare, muntah, dan mungkin kebutaan. Seperti Wabah Antoninus, salah satu pandemi terburuk di Romawi datang dari Timur. Diyakini bahwa penyakit itu berasal dari Tiongkok, melewati sepanjang Jalur Sutra ke Alexandria. Begitu mencapai kota metropolis Mesir, kapal gandum membawanya ke seluruh Kekaisaran Romawi.

Ketika Wabah Siprianus menyerang, orang yang kebal dengan Wabah Antoninus sudah meninggal karena usia. Dengan demikian, gelombang baru itu sangat mematikan. Pada puncak pandemi, dari 250 menjadi 262, hingga 5.000 orang meninggal setiap hari di Roma.

Kali ini orang-orang Kristen memainkan peran penting, merawat yang terinfeksi. Jika Wabah Antoninus melemahkan Kekaisaran Romawi, maka Wabah Siprianus membuat Kekaisaran bertekuk lutut.

Lebih buruk lagi, pandemi melanda Romawi di saat-saat tergelapnya, selama apa yang disebut krisis abad ketiga. Selama periode yang penuh gejolak ini, kaisar mencoba menyatukan negara yang terpecah-pecah, melawan musuh eksternal dan internal. Penyakit mematikan menambah berat masalah yang sudah ada. Kekaisaran Romawi selamat, meskipun kematian dan teror dalam skala yang belum pernah dilihat siapa pun.

Pandemi terburuk di dunia kuno: Wabah Yustianus (541-549 M)

Salah satu pandemi terburuk dalam sejarah manusia melanda Kekaisaran Romawi Timur pada pertengahan abad ke-6 M. Gelombang pertama pandemi menyapu Mediterania, membunuh hingga seperempat dari populasi Kekaisaran. “Dan mungkin sebanyak 10 persen dari populasi dunia,” imbuh Bileta.

Wabah Yustianus adalah kasus pes bubo pertama yang didokumentasikan, penyakit yang kemudian memengaruhi Eropa di abad-abad mendatang. Penyebabnya adalah bakteri Yersinia pestis yang ditularkan oleh kutu yang dibawa oleh hewan pengerat, terutama tikus.

Wabah Yustianus berasal dari Mesir pada tahun 541. Dari sana, wabah itu menyebar dengan kapal gandum ke ibu kota kekaisaran, Konstantinopel. Pada saat itu, Konstantinopel adalah kota terbesar di dunia. Kota ini jadi panggung yang ideal untuk salah satu episode paling menghebohkan dalam sejarah manusia.

Perjalanan pandemi ini dicatat oleh sejarawan Procopius dengan detail yang mengerikan. Awalnya pasien mengalami demam tinggi dan kelelahan sebelum bubo bengkak pecah di sekitar telinga, ketiak dan selangkangan. Bubo adalah pembesaran pada pangkal paha atau ketiak karena radang.

Selanjutnya, orang akan mengalami delusi sebelum jatuh koma dan akhirnya meninggal dalam waktu seminggu setelah terinfeksi. Kaisar Yustianus sendiri terkena, tetapi dia berhasil pulih. Sayangnya, penduduk Konstantinopel lainnya tidak seberuntung itu.

Pada puncaknya pada tahun 542, penyakit ini membunuh 5.000 orang per hari. Orang mati lebih cepat daripada yang bisa mereka kubur. Kaisar memerintahkan lubang besar untuk digali untuk membuang mayat yang membusuk. Ketika lubang besar terisi, mayat-mayat dimasukkan ke dalam menara, dengan kapur tohor dituangkan untuk mempercepat pembusukan. Selanjutnya, kapal yang penuh dengan mayat didorong ke Laut Marmara dan dibakar.

Bileta menambahkan, “Konstantinopel terhenti, makanan langka, dan hukum serta ketertiban hancur.” Pada saat Wabah Yustianus mereda, hampir setengah dari populasi kota mati.

Penyakit ini menyebar ke seluruh Kekaisaran, menyebabkan kelaparan dan kehancuran yang meluas. Salah satu pandemi terburuk di dunia kuno, Wabah Yustianus melumpuhkan ekonomi dan mengacaukan rencana penaklukan kembali kaisar.

Tahun 540 M, Wabah Yustianus terulang lagi di seluruh Eropa dan Timur Tengah sampai sekitar 750 M. Saat itu, penyakit ini merenggut sekitar 25 hingga 50 juta nyawa, sekitar setengah dari populasi dunia.

 

No comments:

Powered by Blogger.